Jumat, 29 Mei 2015

Sebuah Refleksi dan Pengingatan Kembali “Makna Kebangkitan Nasional”

Tanggal duapuluh Mei, hari dimana organisasi Budi Utomo yang digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo lahir. Ditengah-tengah zaman penjajahan Belanda pada saat itu, para sekumpulan dokter yang notabenenya adalah masyarakat terdidik merasa perlu untuk membuat suatu dobrakan yang mengubahkan bangsa. Untuk pertama kalinya terbentuklah suatu organisasi yang bercita rasa nasionalisme dan memiliki tujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Sekitar duapuluh tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, tecetuslah ikrar sumpah pemuda yang begitu membakar semangat serta rasa persatuan sebagai suatu bangsa seutuhnya, bangsa Indonesia. Suatu lompatan besar yang dilakukan Dr. Sutomo dan kawan-kawan pada tahun 1908 telah menginspirasi rakyat indonesia, dan membukakan mata yang pada saat sudah terlalu dalam dininabobokan oleh penjajah Belanda. Hampir hilang kreativitas, inisiatif serta rasa kemandirian sebagai suatu bangsa yang sejati, karena sudah tiga abad lamanya suatu bangsa besar hidup dibawah bayang-bayang kolonialisme dan imperialisme yang mengakibatkan terbentuknya mental budak, pesuruh dan pekerja robot.  Suatu lompatan besar yang dilakukan Budi Utomo seperti menampar kalangan intelektual lainnya di Indonesia pada saat itu, mengingatkan bahwa sebenarnya merekapun juga memiliki beban tanggungjawab sama yang harus dipikul dengan orang-orang yang berperang mengangkat senjata dan bergerilya di hutan-hutan. Bahwa selama ini perjuangan hanya dilakukan melalui jalan kekerasan, perang konvensional, saling bunuh dan menghancurkan tidak pernah melalui jalur diplomasi yang rapi dan tersusun secara sistematis. Baru setelah kemunculan Budi Utomo lahirlah organisasi-organisasi yang bergerak di bidang politik serta bercita rasa nasionalis seperti indische partij, muhammadiyah,  sarekat dagang islam dan sebagainya. Kemerdekaan yang Indonesia dapatkan pada 17 Agustus 1945 pun dideklarasikan dengan elegan oleh dwi tunggal Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta dengan pidato politis yang mengklaim kemerdekaan Indonesia secara defacto dan menunjukkan bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa yang intelek serta berpendidikan, semuanya dimulai dari 20 Mei 1908, hari dimana untuk pertama kalinya perjuangan secara diplomatis dimulai. Maka tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Suatu pergerakan yang digagas oleh kaum intelektualis yang sadar akan tanggungjawab seiring dengan kapabilitas yang dimilikinya.

Nasionalisme merupakan suatu –isme (paham) yang mengajarkan untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Mencintai disini artinya berani dan mau berkorban demi kepentingan bangsa, atau lebih ekstrim lagi dapat dikatakan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi. Di era globalisasi dan arus modernisasi yang semakin kuat seperti sekarang ini sepertinya kata nasionalisme hampir hilang dari kamus anak muda masa kini. Semua bidang seperti sudah dikuasai oleh hal-hal yang berasal dari luar negeri. Pandangan kita seperti didoktrin agar selalu menganggap bahwa semua hal yang berasal dari luar negeri itu selalu lebih superior. Buktinya coba kita tengok sekarang apa yang sedang anda pakai, musik apa yang anda dengar, film apa yang anda tonton, makanan apa yang anda makan, gadget apa yang anda gunakan, barang-barang elektronik yang anda miliki, tujuan destinasi wisata anda ketika memiliki uang yang berlebih, tempat anda ingin bekerja dengan gelar S3 yang mungkin nanti anda peroleh? Tidak salah memang, namun rasanya nasionalisme hanyalah menjadi sebatas kata, dengan semua relita yang kita jalani, tidak lebih. Mudah untuk diucapkan tetapi sangat sukar dilakukan dalam prakteknya. Memang bukanlah suatu tindakan kriminal jika anda sebagai orang Indonesia tidak memiliki rasa nasionalisme, atau anda lebih suka dengan budaya-budaya barat, timur tengah, asia timur atau apapun itu yang menurut pendapat anda jauh lebih menarik untuk dijadikan gaya hidup dengan catatan selama anda tidak melakukan suatu hal yang merugikan bangsa, namun apakah anda tidak memiliki kerinduan untuk berbuat sesuatu terhadap ibu pertiwi yang telah merawat anda selama ini? Bukankah sama saja ketika anda tidak memiliki rasa nasionalisme dan lebih menghargai segala sesutu yang dari luar itu artinya anda telah mengkhianati negara anda? Apalagi kalau sampai anda tidak berbuat apa-apa mengenai hal ini, bukankah anda sama saja dengan seorang anak yang durhaka terhadap kedua orang  tuanya?
Apalagi sebagai seorang mahasiswa, kaum intelek yang dibebani dengan pengetahuan serta kapabilitas diatas masyarakat rata-rata pada umumnya, maka sudah barang tentu memiliki solusi atas permasalahan ini. Sesuai dengan bidangnya masing-masing. Namun apa sebenarnya yang dapat kita lakukan berkaitan dengan masalah nasionalisme?  Bagaimana kalau kita mulai memahaminya dengan seperti ini. Jika kita setia pada perkara-perkara kecil, maka kita pun akan setia juga pada perkara-perkara yang besar. Maka mulailah dari hal-hal kecil terlebih dahulu. Sebelum kita berdemo dan turun ke jalan, apakah kita telah berkaca dulu sebelumnya? Bagaimana perkuliahan kita? IPK kita? Apakah kita masih mencontek? Menitip absen ketika tidak mengikuti perkuliahan? Sudah berap lama kita berkuliah? Bagaimana pola hidup kita? Apakah kita seorang perokok? Pemabuk? Pecandu pornografi? Atau seseorang dengan pola hidup yang tidak teratur? Hedonis? Boros? Bagaimana dengan penampilan kita? Pakaian yang kita pakai? Mode yang kita ikuti dengan uang orangtua kita atau dari beasiswa yang kita perjuangkan, padahal kita sebenarnya tidak terlalu membutuhkannya, sementara bayak orang diluar sana yang lebih membutuhkan dan kita hanya menyimpan informasinya untuk diri kita sendiri? Tidak mau berbagi dan bersikap egosentris? Bagaimana kita mau berbicara mengenai nasionalisme ketika kita masih menganggap bahwa diri kita adalah pusat dari segala sesuatu?! Apalagi kalau kita sudah menganggap semua hal itu adalah hal yang biasa saja dan terlena seperti yang terjadi pada bangsa kita sendiri ketika dijajah oleh kaum kolonialis. Seperti dulu ketika di Jalan Braga Bandung konon katanya ada tertulis plang Verboden voor honden en Inlander yang artinya terlarang bagi anjing dan pribumi. Itu berlangsung lama tanpa ada perlawanan yang berarti, semuanya biasa saja.


Apakah kita sedang terlena sekarang? Dan digiring menjadi suatu bangsa dengan gaya hidup konsumerisme? Atau obyek bagi bangsa-bangsa lain untuk menularkan ideologinya yang akhirnya memecah belah bangsa lalu memunculkan gerakan-gerakan radikal tanpa dasar yang jelas akhirnya menghancurkan Indonesia dari dalam seperti yang dilakukan penjajah pada jaman dulu, cara lama namun terbukti masih ampuh: devide et impera. Merobek tubuh dari dalam. Maka kesadaran dari diri sendirilah yang harus kita bangun, sebelum berbicara mengenai kebangkitan bangsa mulailah dulu dari kebangkitan pribadi, berubah menurut pembaharuan budi. Semakin terdidik kita, maka semakin bijak pula kita dalam menangani setiap permasalahan yang ada, bukannya semakin semena-mena. Pada akhirnya mulailah semua dari diri sendiri, dari hal-hal yang paling kita anggap sepele, tidak usah kebanyakan excuse. Hidup mahasiswa, jayalah Indonesia!!

Selasa, 03 Maret 2015

KPK dan Polri

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga negara yang menangani kasus-kasus korupsi. Dasar hukumnya tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. Lembaga ini bersifat independen dan tidak secara langsung dibawah pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugasnya. Namun secara berkala KPK bertanggungjawab menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. Sejak tahun 2002 KPK didirikan, sudah banyak kasus-kasus besar yang cukup mengguncang dunia perpolitikan di Indonesia, mulai dari kasus Bank Century yang melibatkan kepolisian hingga kasus Hambalang yang melibatkan partai politik. Sampai pernah beredar pula istlah “Cicak vs Buaya” yang dilontarkan oleh pernyataan Susno yang berbunyi “Ibaratnya di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya”. Ketika itu sedang nyaring terdengar isu meng-kriminalisasi KPK,sampai pada akhirnya Susno Duaji dijebloskan ke penjara, namun ketua KPK pada saat itu, Antasari Azhar juga dijebloskan ke penjara dengan tuduhan kasus pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen dengan dibumbui –entah dari mana isunya mulai bergulir tentang hubungan Antasari terhadap seorang caddy golf bernaa Rani Juliani. Hal ini sebenarnya hanya membuat suasana menjadi terkesan kusut dan semrawut, sehingga pesan yang diterima oleh masyarakat awam adalah bahwa Antasari orang jahat yang membunuh Nasrudin dan juga tukang main wanita. Padahal sampai sekarangpun Antasari masih membantahnya dan menggugat untuk diadakannya pra peradilan. Banyak pertanyaan yang meragukan seperti baju korban yang tidak dijadikan barang bukti penyelidikan, keaslian sms yang diterima oleh korban yang menjadi alat bukti dan masihbanyak yang lainnya.

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Garda Rakyat Indonesia melakukan aksi di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (20/1/2015). Dalam aksinya mereka menuntut institusi KPK dan Polri bebas dari kepentingan politik. Foto: Antara.
Beberapa waktu kemarin juga muncul masalah antara pihak KPK dan kepolisian, tepatnya pada tanggal 13 Januari 2015 ketika KPK mengumumkan Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi saat ia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Ketua KPK Abraham Samad mengatakan Komjen BG sejak lama sudah mendapatkan catatan merah dari KPK (dikutip dari bbc.co.uk). dimana tiga hari sebelumnya Presiden Joko Widodo memilih Budi Gunawan sebagai kandidat tunggal Kapolri menggantikan Sutarman. Entah bagaimana ceritanya setelah itu, namun yang jelas kubu KPK langsung seperti diserang habis-habisan, mulai dari isu seperti beredarnya foto-foto mesra Ketua KPK Abraham Samad dengan Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira, serta penngkapan wakil ketua KPK Bambang Widjojanto dengan tuduhan memerintahkan saksi sengketa pilkada Kotawaringin Barat bersumpah palsu. Ternyata gempuran terhadap KPK masih belum sampai disitu, pada tanggal 26 Januari 2015 Wakil Ketua KPK Zulkarnaen dilaporkan ke Mabes Polri dengan tuduhan korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM). Presiden sampai turun tangan dalam ketegangan KPK-Polri sehingga dibentuklah tim 9 untuk mencarikan solusi masalah KPK-Polri. Pada akhirnya tim 9 mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Namun tidak lama setelah itu pada tanggal 18 Februari 2015 Mjelis Hakim PN Jakarta Selatan menyatakan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka tidak sah, dan tidak mengikat secara hukum.

Presiden Indonesia Joko Widodo. Tempo/Aditia Noviansyah

Sekarang keputusan ada di tangan Presiden, apakah akan tetap melantik Budi Gunawan atau mencari kandidat lain sebagai gantinya. Yang jelas, dapat kita lihat sekarang bahwa menegakkan keadilan di negeri yang sudah lama terbiasa dengan budaya yang tidak baik, itu bukanlah suatu hal yang mudah, entah siapa yang benar atau siapa yang salah tidak dapat dengan mudah langsung kita ambil sikap, karena semuanya dipenuhi oleh nuansa politis dan konflik kepentingan, bisa jadi yang selama ini kita anggap benar ternyata tidak sepenuhnya benar, dan jangan sampai terjadi, lembaga yang kita percayai selama ini sebagai pahlawan, ternyata berkhianat, atau ada upaya menjatuhkan citranya dimata masyarakat, sehingga pada akhirnya tidak ada lagi yang dapat benar-benar dipercaya, masyarakat menjadi apatis terhadap apapun yang terjadi, entah baik atau buruk.